7.000 Orang Tandatangani Petisi Tolak Larangan Sepeda Motor Melintas Sudirman-HI

Jakarta – Larangan sepeda motor untuk bisa melintas di jalan protokol Jakarta menjadi pro dan kontra. Meskipun seperti diketahui pada 11 Sepetember 2017 nanti baru dilakukan uji coba, untuk penerapatannya masih menjadi bahasan.
Bahkan penolakan Penolakan larangan motor di Sudirman-Senayan saat ini masuk dalam petisi Change.org. Bahkan hingga berita ini diturunkan sudah 7.501 warganet (warga pengguna internet yang terdiri dari gabungan berbagai komunitas roda dua atau lainnya) menandatangani petisi ini.
Petisi berjudul “Tolak Pelarangan Motor Sudirman-Kuningan Oktober 2017” mengatakan kalau pelarangan yang akan dilakukan ini merupakan diskriminasi. Menurut warganet, penyebab kemacetan lebih besar justru kendaraan roda empat.
Seperti dikutip dari Change.org, kebijakan ini tidak berdasarkan kajian akademis yang dibagikan kepada publik. Setiap hari faktanya pada jalur cepat Sudirman mengarah ke HI maupun jalan Tol yang tak bisa dilalui motor pun kondisinya macet parah.
Selain itu, Pemda DKI perlu melihat dampak ekonomi dari pelarangan yang akan sangat signifikan terhadap pengendara motor. Khususnya yang mengandalkan motor untuk bekerja ataupun melintas di wilayah ini.
Seperti pekerja jasa angkutan orang (ojek) maupun angkutan barang/dokumen (kurir). Serta kelompok masyarakat ataupun sektor ekonomi yang mengandalkan pekerja seperti hal di atas di atas.
Selain itu juga diungkapkan, Pemda DKI dalam kebijakan pelarangan mengenyampingkan kepentingan lebih dari 73% pembayar PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) di DKI. Yang justru adalah pengguna sepeda motor.
Perlu Kajian yang Matang
Berdasarkan penjelasan diatas maka para warganet meminta Pemda DKI untuk menghentikan kebijakan pelarangan ini. Beberapa alasan telah disusun untuk menjadikan pertimbangan tidak diberlakukannya larangan ini yaitu:
– Kebijakan pelarangan sepeda motor di ruas Jalan Sudirman- Kuningan menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Baik yang secara langsung menggunakan motor ataupun mereka yang membutuhkan layanan jasa motor.
– Ketiadaan ruas alternatif yang paralel dan memadai akan menyebabkan waktu dan biaya yang dikeluarkan pengguna motor menjadi tinggi (high cost).
– Tidak ada kajian mendalam terkait dengan Perda/Pergub yang didasarkan pada naskah akademik.
– Kebijakan ini tidak melalui proses konsultasi publik dimana dokumen studi bisa diakses dan dipelajari publik.
Hal ini menjadi polemik bagi Pemda DKI, disatu sisi ingin menjadikan lalu-lintas di jalan protokol lebih rapi. Di sisi lain khususnya pengguna sepeda motor dirugikan aktivitasnya, karena minimnya solusi yang yang ada. Nah bagaimana menurut Anda?
Baca juga: Sepeda Motor Tak Boleh Melintas di Sudirman, Ini Alternatifnya