Berita Mobil

Dilema Mobil Hybrid di Tengah Kebuntuan Regulasi Mobil Listrik

Mesin Hybrid di tengah regulasi kendaraan listrik yang tak kunjung terbit

Jakarta – Perkembangan teknologi juga merambah ke kendaraan bermotor khususnya mobil berpenumpang. Salah satu perkembangan teknologinya adalah powertrain atau konfigurasi mesinnya. Seperti diketahui semua, umumnya kita menggunakan mobil bersistem pembakaran Ignation Combustion Engine atau motor bakar pembakaran dalam yang selanjutnya kita sebut mesin konvensional. Pasalnya, kini telah beredar juga mesin hybrid yang merupakan penggabungan antara mesin konvensional dan dengan sistem daya gerak listrik (motor listrik).

Sebagai hasil sebuah inovasi bidang otomotif, mobil hybrid tentu saja menyimpan berbagai kelebihan jika dibandingkan mesin konvensional. Misalnya, sebut saja irit Bahan Bakar Minyak (BBM), rendah emisi gas buang, minim getaran mesinnya, hingga performa akselerasinya yang cenderung impresif.

Namun di balik semua kelebihannya, ternyata menyisakan kekurangan yang dilihat dari sisi ekonomisnya. Director Strategic & Technology Engineering Development dari Institut Otomotif Indonesia memaparkan bahwa mobil hybrid merupakan teknologi perantara antara motor bakar ke mobil full listrik. Oleh karena itu, tren penggunaannya pun akan turun seperti penggunaan mesin konvensional yang secara perlahan akan tidak lagi dipakai.

“Teknologi mobil hybrid juga akan naik tapi suatu saat pun akan sama-sama terjun, hilang bersama dengan teknologi motor bakar (mesin konvensional),” papar Eko Rudianto beberapa waktu lalu.

Namun demikian, masa redup mobil hybrid bersama mobil konvensional belum bisa diketahui kapan terjadi. Jika mengacu pada United Nation Convention on Climate Change (UNFCC) yang ditandatangani Presiden Indonesia pada 2015 lalu, penurunan emisi wajib turun sampai 29 persen pada 2030. Prediksi ini kemudian bisa dikaitkan dengan nasib mobil hybrid di Indonesia ke depannya.

Masih Layakkah Membeli Mobil Hybrid?

BMW i8

Salah satu mobil hybrid BMW yang di jual di Indonesia. Foto/Carmudi.

Di tengah kebuntuan regulasi mobil listrik yang tak kunjung diterbitkan pemerintah, mobil hybrid dihadapkan dengan usia pakai baterainya. Bisa dibilang, baterai tersebut hanya bisa optimal bertahan kurang dari 10 tahun. Lebih dari itu, tenaga baterai akan soak. Biaya penggantiannya pun tidak bisa dibilang murah, Eko sendiri mengatakan biayanya bisa mencapai Rp70 juta.

“Untuk ganti baterainya saja bisa Rp70 juta, belum lagi mekaniknya juga enggak bisa sembarangan,” kata Eko.

Dilema ini baru menyentuh pembelian mobil hybrid baru, belum ke mobil hybrid bekas. Pasalnya, mengacu pada daftar mobil bekas di situs Carmudi, depresiasi harganya cukup jauh. Contohnya pada Toyota Camry 2012 yang dibanderol Rp635,6 juta di awal peluncurannya kini dijual seharga Rp280 juta saja.

Jadi bisa disimpulkan bahwa mobil hybrid benar-benar “nanggung” dari sisi ekonomis. Baik membelinya secara baru, maupun bekas. Regulasi pemerintah akan mobil listrik jadi sesuatu yang sangat ditunggu. Namun, sektor reformasi infrastruktur kemudian menjadi benturan lainnya bagi industri mobil listrik di Indonesia. Infrastruktur yang dimaksud bukan hanya persoalan kondisi permukaan jalan-jalan utama saja. Infrastruktur itu meliputi pasokan tenaga listrik sebagai sumber daya utama, Public Charging, hingga teknologi konektivitasnya.

Dimas Hadi

Memulai karir sebagai jurnalis otomotif sejak 2016 di Carmudi Indonesia. Sebelumnya aktif menulis bermacam esai sosial-budaya dan beberapa karya tulis lainnya sejak 2009. Email : dimas.hadi@icarasia.com
Follow Me:

Related Posts